Makalah Platyhelminthes, Pengertian, Ciri Ciri, reproduksi, penyakit yang ditimbulkan, sistem syaraf, tempat hidup
Filum
Platyhelminthes
A.
Pengertian Platyhelminthes
Platyhelminthes dalam bahasa Yunani artinya Cacing Pipih. Cacing Pipih
adalah filum dalam kerajaan Animalia
(hewan). Filum ini mencakup semua Cacing
pipih kecuali Nemertea,
yang dulu merupakan salah satu kelas pada Platyhelminthes yang telah dipisahkan.
Platyhelminthes merupakan filum ketiga dari kingdom Animalia setelah Porifera dan Coelenterata. Platyhelminthes merupakan hewan triploblastik dan bisa hidup sebagai parasit. Hewan Triploblastik adalah hewan (dari kingdom Animalia) yang mempunyai 3 lapisan tubuh.
B. Ciri-Ciri Platyhelminthes
Ciri-ciri Platyhelminthes:
1. Memiliki tubuh yang pipih, simetris, dan tidak bersegmen.
2. Mempunyai satu lubang mulut tanpa dubur.
3. Hidup sebagai parasit, mempunyai alat hisap akan tetapi juga ada yang hidup bebas.
4. Reproduksi generatif dengan perkawinan silang, secara vegetatif dengan membelah diri (fragmentasi).
5. Hidup di air tawar/laut, tempat lembab, atau di dalam tubuh hewan lain.
6. Sangat sensitif terhadap cahaya.
1. Memiliki tubuh yang pipih, simetris, dan tidak bersegmen.
2. Mempunyai satu lubang mulut tanpa dubur.
3. Hidup sebagai parasit, mempunyai alat hisap akan tetapi juga ada yang hidup bebas.
4. Reproduksi generatif dengan perkawinan silang, secara vegetatif dengan membelah diri (fragmentasi).
5. Hidup di air tawar/laut, tempat lembab, atau di dalam tubuh hewan lain.
6. Sangat sensitif terhadap cahaya.
C. Struktur dan Fungsi Tubuh Platyhelminthes
1. Sistem Pencernaan
Gastrovakuler
adalah sistem pencernaan pada Cacing
Pipih atau Platyhelminthes.
Peredaran makanan pada sistem pencernaan
Cacing Pipih melalui usus, yang dimulai dari mulut, faring, dan
kerongkongan. Di belakang kerongkongan terdapat usus yang memiliki cabang ke
seluruh tubuh, yang berarti makanan
disebarkan keseluruh tubuh.
Gas Oksigen dan karbondioksida dikeluarkan melalui proses difusi. Platyhelminthes tidak memiliki sistem peredaran darah dan rongga tubuh(selom) sehingga disebut hewan aselomata.
Gas Oksigen dan karbondioksida dikeluarkan melalui proses difusi. Platyhelminthes tidak memiliki sistem peredaran darah dan rongga tubuh(selom) sehingga disebut hewan aselomata.
2. Indera
Beberapa Cacing
pipih memunyai oseli di
kepala. Oseli
adalah bintik mata yang mengandung pigmen yang peka terhadap cahaya.
Cacing pipih memiliki
indra peraba dan sel kemoresptor.
Beberapa jenis lainnya juga memiliki indra tambahan seperti aurikula(telinga),
statosista (pengatur
keseimbangan), dan reoreseptor (berfungsi untuk mengetahui arah aliran sungai).
3. Reproduksi
Walaupun cacing pipih
merupakan hewan hemafrodit,
beberapa cacing pipih tidak bisa
melakukan perkawinan secara individu. Reproduksi
dilakukan secara aseksual dan seksual.
Reproduksi seksual akan menghasilkan gamet. Fertilisasi ovum terjadi di dalam tubuh. Fertilisasi bisa dilakukan sendiri atau dengan pasangan lain.
Sedangkan reproduksi aseksual dilakukan dengan membelah diri (fragmentasi).
Reproduksi seksual akan menghasilkan gamet. Fertilisasi ovum terjadi di dalam tubuh. Fertilisasi bisa dilakukan sendiri atau dengan pasangan lain.
Sedangkan reproduksi aseksual dilakukan dengan membelah diri (fragmentasi).
D. Klasifikasi Platyhelminthes
1. Turbellaria atau Cacing Rambut Getar
Memiliki
bulu getar yang berfungsi untuk bergerak.
Contoh: Planaria
Contoh: Planaria
2. Trematoda atau Cacing Isap(cacing hati)
Memiliki alat pengisap, terdapat pada mulut di bagian kepala. Alat
penghisap berfungsi untuk menempel pada inangnya untuk menghisap makanan,
berarti Trematoda
merupakan parasit.
Trematoda dewasa hidup di dalam hati, usu, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah vertebrata.
Contoh: Fasciola(Cacing Hati), Clonorchis, dan Schistosoma.
Trematoda dewasa hidup di dalam hati, usu, paru-paru, ginjal, dan pembuluh darah vertebrata.
Contoh: Fasciola(Cacing Hati), Clonorchis, dan Schistosoma.
3. Cestoda atau Cacing Pita
Memiliki kulit berlapis kitin berfungsi melindungi diri dari enzim
inangnya, dengan demikian Cestoda merupakan parasit. Cestoda terdiri dari anterior yang
disebut skoleks, leher (strobilus), dan proglotid.
E. Penyakit yang Dapat Ditimbulkan Oleh
Platyhelminthes
Platyhelminthes menimbulkan penyakit pada manusia dan hewan, salah
satunya yaitu Schistosoma yg
menyebabkan skistosomiasis.
penyakit parasit yang ditularkan melalui siput air tawar pada manusia.
Apabila cacing tersebut berkembang di tubuh manusia, dapat terjadi kerusakan jaringan dan organ seperti kandung kemih, ureter, hati, limpa, dan ginjal manusia.
Apabila cacing tersebut berkembang di tubuh manusia, dapat terjadi kerusakan jaringan dan organ seperti kandung kemih, ureter, hati, limpa, dan ginjal manusia.
F. Sistem syaraf
- Sistem syaraf tangga
tali merupakan sistem syaraf yang paling
sederhana.Pada sistem tersebut, pusat susunan saraf yang disebut sebagai ganglion otak terdapat di bagian kepala dan
berjumlah sepasang.Dari kedua ganglion otak tersebut keluar tali saraf
sisi yang memanjang di bagian kiri dan kanan tubuh yang dihubungkan dengan
serabut saraf melintang.
- Pada cacing pipih yang lebih tinggi tingkatannya,
sistem saraf dapat tersusun dari sel saraf (neuron) yang dibedakan menjadi sel saraf sensori (sel
pembawa sinyal dari indera ke otak), sel saraf motor (sel pembawa dari
otak ke efektor), dan sel asosiasi (perantara)
BAB I
PEMBAHASAN
1.1
Planaria
sp(Kelas Turbelia)
Kingdom : Animalia Philum
Platyhelminthes Kelas : Turbellaria Ordo
Tricladida Familia : Paludicola Genus
Euplanaria Spesies
: Euplanaria sp
Tubuh
pipih dorsoventral. Kepala berbentuk
segitiga memiliki tonjolan keping disisi
lateral (aurikel). Berukuran kira-kira
15mm (5-25mm).Ekor meruncing.Tubuh memanjang dan lunak.Bergerak dengan silia
yang terdapat pada epidermis tubuhnya.
Perkembangbiakan secara seksual dan
aseksual. Bersifat hermaprodit serta
memiliki daya regenerasi yang tinggi.
Planaria
sp umumnya dapat ditemukan di habitat aquatik yang tidak tercemar, dengan arus
yang mengalir serta hidup dibawah bebatuan atau dibalik daun yang terhindar
dari sinar matahari dan jarang sebagai parasit.
Peranan
Planaria terhadap kehidupan manusia belum diketahui secara pasti. Namun secara
umum diperkirakan bahwa planaria dapat dijadikan bioindicator. Yakni sebagai
indikasi atau alat ukur untuk mengetahui apakah air pada suatu tempat sudah
tercemar atau tidak. Hal ini dikarenakan planaria hanya dapat hidup pada tempat
yang masih bersih dan belum tercemar oleh bahan-bahan kimia.
Latar
Belakang Hewan yang tidak bertulang belakang atau Invertebrata terdiri atas
beberapa jenis dan golongan. Jika ada yang memiliki rangka, maka rangka itu
berbeda dengan rangka biasa yang kita kenal. Umumnya rangka Invertebrata
tersebut ada di luar menyelubungi tubuhnya. Hewan-hewan yang tidak bertulang
belakang semuanya memiliki struktur morfologi dan anatomi lebih sederhana
dibandingkan dengan kelompok hewan bertulang belakang. Misalnya untuk peredaran
darahnya bila kita amati, peredaran darah pada hewan bertulang belakang telah
sempurna dengan jantung yang memiliki kamar-kamar dan pembuluh yang mempunyai
tugas masing-masing. Jika ada hewan yang tidak bertulang belakang memiliki
peredaran darah tertutup, peredaran darah itu tidak sesempurna peredaran darah
katak dan ikan atau hewan bertulang belakang lainnya. Selain peredaran
darahnya, sistem pernafasan, pencernaan, dan pengeluarannya pun lebih
sederhana. Hal ini berkaitan dengan struktur tubuh Vertebrata yang jauh lebih
rumit dibandingkan dengan struktur tubuh Invertebrata. Pada makalah ini kami
akan menyajikan satu contoh dari filum yang ada pada hewan tidak bertulang
belakang atau Invertebrata. Berasal dari filum Platyhelminthes dari kelas
Turbellaria, yaitu Planaria sp. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang
yang telah diuraikan di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Bagaimana ciri-ciri Planaria? 2. Bagaimana reproduksi Planaria? 3. Bagaimana
peranan Planaria di kehidupan sehari-hari? C. Tujuan Penulisan 1.Untuk
mengetahui ciri-ciri Planaria. 2.Untuk mengetahui reproduksi Planaria. 3.Untuk
mengetahui peranan dan manfaat Planaria.
Euplanaria
sp Pengertian Planaria Planaria merupakan hewan invertebrata, termasuk cacing
pipih yang hidupnya bebas di alam, umumnya hidup di air tawar, sungai, danau
atau di laut. Planaria termasuk dalam anggota filum platyhelminthes dari kelas
turbellaria (cacing berambut getar). Planaria sp umumnya dapat ditemukan di
habitat akuatik yang tidak tercemar dengan arus yang mengalir serta hidup
dibawah bebatuan yang terhindar dari sinar matahari. Planaria sp dikatakan
sebagai bioindikator dikarenakan membutuhkan kondusifitas lingkungan hidup yang
tidak tercemar dengan polutan organik, kaya oksigen, dan tidak bersifat asam.
Meskipun hidup di air planaria tidak berenang, tetapi bergerak dengan cara
meluncur dan merayap. Gerakan meluncur terjadi dengan bantuan silia yang ada
pada bagian ventral tubuhnya dan zat lendir yang dihasilkan oleh kelenjar
lendir dari bagian tepi tubuh. Zat lendir itu merupakan “jalur” yang akan
dilalui. Gerakan silia yang menyentuh jalur lendir menyebabkan hewan bergerak.
Selama berjalan meluncur, gelombang yang bersifat teratur tampak bergerak dari
kepala ke arah belakang. Pada gerak merayap, tubuh planaria memanjang sebagai
akibat dari kontraksi otot sirkular dan dorsoventral. Kemudian bagian depan
tubuh mencengkeram pada substrat dengan mukosa atau alat perekat khusus. Hampir
semua anggota Turbellaria hidup secara bebas, hanya ada beberapa saja yang
hidup secara ektokomensalis atau secara parasitis. Tubuh cacing Turbellaria
tidak terbagi atas segmen-segmen, bagian luarnya ditutupi oleh epidermis yang
berinsitium sebagian daripadanya dilengkapi dengan sel-sel yang menghasilkan
zat mucosa. Struktur Planaria tubuhnya pipih, memanjang dan lunak, berukuran
kira-kira 15mm (5-25mm) panjang, bagian anterior (kepala) berbentuk segitiga
tumpul, dan meruncing kearah belakang, dan berpigmen yang gelap. Dinding tubuh
Planaria pada prinsipnya tersusun atas 4 lapisan jaringan, yaitu secara
berturut-turut dari luar ke dalam sebagai berikut: (1) lapisan epidermis, (2)
lapisan kelenjar sub-epidermis, (3) lapisan otot (musculus), (4) lapisan
mesenchyme (parenchyma).
Lubang
mulut berada di ventral tubuh agak kearah ekor, berhubungan dengan pharink
(proboscis) berbentuk tubuler dengan dinding berotot, dapat ditarik dan
dijulurkan untuk menangkap makanan. Di bagian kepala, yaitu bagian samping
kanan dan kiri terdapat tonjolan menyerupai telinga disebut aurikel. Tepat di
bawah bagian kepala terdapat tubuh menyempit, menghubungkan bagian badan dan
bagian kepala, disebut bagian leher. Di sepanjang tubuh bagian ventral
diketemukan zona adesif. Zona adesif menghasilkan lendir liat yang berfungsi
untuk melekatkan tubuh planaria ke permukaan benda yang ditempelinya. Di
permukaan ventral tubuh planaria ditutupi oleh rambut-rambut getar halus,
berfungsi dalam pergerakan. Planaria menarik untuk diamati baik morfologi
maupun perilakunya. Selain itu daya regenerasi Planaria sp sangat unik, dimana
planaria mampu memperbaiki bagian tubuh yang tidak sempurna menjadi bagian yang
utuh seperti semula dalam waktu yang relative singkat, meskipun hanya memiliki
system saraf yang sederhana. Planaria merupakan pemakan makanan yang beraneka
ragam (versatile feeder), ia juga mampu mencari-cari dan memakan bangkai hewan
lain yang telah mati. Ciri-ciri Planaria sp
Bentuk tubuh pipih (dorsoventral), bilateral simetri dan tidak
bersegmen, pada bagian kepala terdapat
bagian yang mirip dengan telinga (auricle) yang dipenuhi reseptor kimia. Bergerak dengan silia yang terdapat pada
epidermis tubuhnya. Mempunyai saluran
pencernaan yang terdiri dari mulut, faring dan usus. Planaria sp tidak memiliki anus, sisa makanan yang tidak
tercerna akan dikeluarkan melalui mulut.
Sistem eksresi menggunakan sel-sel api yang tersebar di tepi tubuh. Sistem syaraf terdiri dari ganglia yang
terdapat di kepala serta pada bagian posterior terdapat dua bintik mata (eye
spot) yang sangat peka terhadap rangsang cahaya. Perkembangbiakan secara seksual dan
aseksual. Planaria sp bersifat
hermaprodit serta memiliki daya regenerasi yang tinggi.
Reproduksi
Cacing Planaria Planaria bersifat hermaphrodit, maka dalam tubuh seekor hewan
tersebut terdapat alat kelamin jantan dan alat kelamin betina. Adapun susunan
alat kelamin tersebut adalah sebagai berikut:
Organ kelamin jantan terdiri atas:
a. Testis:
berjumlah ratusan, berbentuk bulat selebar di sepanjang sisi kedua tubuh
b. Vasa eferensia: merupakan pembuluh yang
menghubungkan testis dengan bagian pemb uluh lainnya yang lebih besar.
c. Vasa deferensia: merupakan pembuluh yang berjumlah
dua buah yang masing-masing membentang disetiap sisi tubuh yang kedua-duanya
saling bertemu dan bermuara ke dalam suatu kantung yang disebut vesiculus
seminalis.
d. Vesicular seminalis: merupakan kantung yang
berfungsi menampung sperma dan menyalurkan sperma ke penis.
e. Penis:
merupakan alat pentransfer ke tubuh atau kealat kelamin Planaria yang lain pada
waktu mengadakan kopulasi dalam rangka mengadakan perkawinan silang. Penis ini
bermuara kedalam ruang genetalis.
f. Ruang
genetalis yang waktu kopulasi menjulur keluar melalui poros genitalis. Organ kelamin betina terdiri atas :
a. Ovari: berjumlah dua buah, berbentuk bulat
terletak di bagian anterior tubuh.
b.
Oviduct: (saluran telur) dari setiap ovarium akan membentang ke arah posterior
sebuah saluran yang disebut oviduct atau aliran telur. Antara saluran telur
kanan dan kiri saling bersejajar yang saling dilengkapi dengan kelenjar yang
menghasilkan kuning telur.
c.
Kelenjar kuning telur: menghasilkan kuning telur yang akan disediakan bagi sel
telur bila telah diproduksi oleh ovarium.
d.
Vagina: merupakan saluran yang berfungsi untuk menerima transfer spermatozoid
dari Planaria lain, dimana spermatozoid yang telah ditransfer selanjutnya akan
disimpan dala m ruangan yang disebut receptaculus seminalis.
e. Uterus: (receptaculus seminalis) merupakan
ruangan yang bentuknya menggelembung y ang berfungsi untuk menyimpan
spermatozoid hasil transfer dari Planaria lain.
f. Genital atrium (ruang genitalis) merupakan
muara bersama antara kedua buah saluran t elur (oviduct) yang telah disebut di
atas.
Planaria
berkembangbiak dengan cara seksual dan aseksual. Planaria yang sudah dewasa
mempunyai sistem reproduksi jantan dan betina, jadi bersifat monoecious
(hermafrodit). Testis dan ovarium berkembang dari sel-sel formatif. Reproduksi
seksual planaria dilakukan dengan cara dua planaria saling melekat pada sisi
ventral-posterior tubuhnya dan terjadi kopulasi (cross fertilisasi), saling
pertukaran produk seks antara dua planaria yang berbeda. Planaria melakukan reproduksi
seksual setiap tahun di bulan Februari-Maret. Setelah masa reproduksi seksual,
alat reproduksi mengalami degenerasi dan planaria kemudian mengalami masa
reproduksi aseksual. Reproduksi planaria aseksual terjadi dengan pembelahan
arah transversal. Seekor cacing Planaria dapat mengalami kontriksi
(penyempitan) biasanya di belakang faring, kemudian membelah dan masing-masing
potongan melengkapi bagian tubuhnya menjadi individu- individu baru. Reproduksi
secara seksual: Dua Planaria saling melekat pada sisi ventral-posterior
tubuhnya dan terjadi kopulasi, penis masing-masing dimasukkan kedalam atrium
genitalis. Sperma dari vesikula seminalis pada system reproduksi jantan
masing-masing masuk ke seminal reseptacle cacing pasangannya, saling bertukaran
produk sex antara dua individu yang berbeda disebut cross fertilisasi, dan
transfer langsung sperma dari jantan ke organ kelamin betina disebut
fertilisasi internal. Setelah perkawinan selesai, 2 cacing tersebut memisah,
dan sperma mengadakan migrasi di dalam oviduct, untuk membuahi telur-telur.
Beberapa zygot dan banyak sel-sel yolk kemudian bersatu didalam kapsul yang
terpisah (di dalam kulit telur, di buat oleh dinding atrium kemudian keluar).
Perkembangan secara langsung tidak ada stadium larva. Perkembangan planaria
secara aseksual: Dilakukan selain bulan februari-maret. Kondisi lingkungan
selain bulan tersebut, planaria sudah dewasa/maksimum dalam beregenerasi,
sehingga planaria mengalami kontriksi atau penyempitan di belakang faring,
terjadinya kontriksi karena sel-sel cuboid yang menutupi bagian luar permukaan
tubuh, kemudian dengan adanya dorongan dari otot-otot sirkuler dan longitudinal
akan berkontraksi dan menimbulkan perubahan bagian tubuh diantara epidermis dan
tractus digestivus yang berguna untuk membantu distribusi makanan dan
pengeluaran sisa-sisa makanan terhambat dan kemudian terjadi pembelahan. Selain
itu faktor abiotik yang minimum membantu perkembangan planaria secara aseksual.
Sistem reproduksi pada kebanyakan cacing pipih sangat berkembang dan kompleks.
Reproduksi aseksual dengan cara memotong tubuh di alami oleh sebagian besar
anggota Turbellaria air tawar. Pada umumnya cacing pipih telurnya tidak
mempunyai kuning telur, tetapi di lengkapi dengan “sel yolk khusus” yang
tertutup oleh cangkang telur.
Fragmentasi merupakan proses
reproduksi aseksual pada planaria, dengan membelah diri secara transversal,
masing-masing belahan mengembangkan bagian-bagian yang hilang dan berkembang
menjadi satu organisme utuh. Meskipun jumlah individu yang dihasilkan dengan
reproduksi aseksual itu sangat besar, tetapi proses ini mempunyai batasan yang
serius, yaitu bahwa tiap turunan identik dengan induknya. Kemampuan planaria
mengembangkan bagian-bagian tubuh yang hilang, hingga terbentuk planaria baru
yang lengkap pada reproduksi aseksual, menyebabkan planaria dikatakan mempunyai
daya regenerasi yang tinggi. Apabila tubuhnya disayat (dipotong), planaria akan
segera memperbaiki bagian tubuhnya yang dipotong dengan proses epimorfis yaitu
perbaikan yang dilakukan dengan cara proliferasi jaringan baru (blastema), di
atas jaringan lama sehingga akan terbentuk planaria baru yang sempurna.
Fenomena ini menarik untuk diteliti, khususnya mengenai pertumbuhan dan
perkembangan planaria setelah dilakukan regenerasi secara buatan, yaitu dengan
memotong melintang planaria menjadi 2 dan 3 bagian. Pengamatan terhadap
planaria yang dipotong ini dilakukan hingga tumbuh kuncup pada bagian yang
hilang dan berkembang menjadi planaria baru yang lengkap.
Regenerasi
Planaria Reganerasi adalah kemampuan untuk memproduksi sel, jaringan atau
bagian tubuh yang rusak, hilang atau mati. Planaria menunjukan daya regenerasi
yang kuat, bila cacing tersebut mengalami luka baik secara alami maupun secara
buatan, bagian tubuh manapun yang mengalami kerusakan akan diganti dengan yang
baru. Individu cacing yang di potong-potong akan menghasilkan cacing-cacing
kecil yang utuh, Setiap potongan dapat tumbuh kembali (regenerasi) menjadi
individu-individu baru yang lengkap bagian-bagiannya seperti induknya. Sepotong
potongan membujur dari bagian samping akan beregenerasi dengan normal, jika
potongan itu tetap lurus. Jika potongan itu membengkok atau melengkung, maka
kepala akan tumbuh pada bagian samping dalam. Jika kepala Planaria dibelah akan
dapat terbentuk seekor Planaria yang berkepala dua, kemudian jika pembelahan
ini dilanjutkan ke posterior sampai terjadi dua buah belahan, maka tiap belahan
akan dapat tumbuh menjadi seekor cacing yang lengkap bagian-bagiannya seperti
induknya. Tahapan Regenerasi Planaria dimulai dengan adanya neoblast yang akan
tampak terhimpun pada permukaan luka bagian sebelah bawah epithelium sehingga
terbentuknya suatu blastema yang kemudian struktur sel mengalami diferensiasi
dalam pertumbuhan blastema dan dibawah kondisi yang optimal mengalami
regenerasi berpoliferasi 12 membentuk bagian-bagian yang hilang. Tahapan
regenerasinya sebagai berikut dediferensiasi blastema-rediferensiasi. Sistem
Pencernaan Makanan Saluran pencernaan terdiri atas mulut, faring, esofagus, dan
usus halus (intestin). Lubang mulut dilanjutkan oleh kantung yang berbentuk
silindris memanjang dan disebut rongga mulut (rongga faringeal). Esophagus
merupakan persambungan dari faring yang langsung bermuara kedalam usus. Usus
bercabang tiga, satu menuju ke anterior, sedangkan yang kedua lagi secara
berjajar sebelah menyebelah menuju kearah posterior. Masing-masing cabang
bercabang lagi ke arah lateral. Percabangan ke arah lateral disebut
“devertikulata”. Planaria sebagian besar bersifat karnivora. Planaria memiliki kemoreseptor
(terletak di kiri- kanan bagian anterior), sehingga memungkinkan cacing ini
bereaksi terhadap zat makanannya yang berupa rangsangan zat protein.
Jika
mangsa telah disentuh, ujung anterior membelok dengan cepat ke arah mangsanya
dan kemudian melingkarinya. Dengan lendir yang diekskresikan oleh kelenjar
mukosa dan “rhabdibes” mangsa dapat diikat erat. Kemudian faring ditonjolkan
keluar untuk mengambil mangsa dan segera ditarik kembali kedalam rongga mulut.
Makanan dicerna secara ekstrasel, kemudian sel-sel tertentu pada epitel usus
dapat membentuk pseudopodia dan mencerna mangsanya di dalam vakuola makanan
(pencernaan intrasel). Sari-sari makanan diabsorpsi dan secara difusi masuk ke
seluruh jaringan tubuh. Sisa-sisa makanan yang tidak dicerna dikeluarkan
kembali ke usus. Bilamana persediaan makanan telah habis, ia akan memakan
tubuhnya sendiri. Pertama ia akan mengorbankan organ reproduktif, kemudian
sel-sel parenkim, otot, dan seterusnya. Sehingga tubuhnya berukuran kecil.
Ketika ia mendapatkan makanan, ia melakukan regenerasi pada masing-masing sel
yang rusak. Sistem Ekskresi Sistem ekskresi terdiri dari dua saluran
longitudinal yang berbentuk seperti jala dan bercabang ke seluruh bagian tubuh
dan berakhir di sel api (protonephridia). Sel api adalah sel berbentuk
gelembung berisi seberkas silia dan terdapat lubang di bagian tengah gelembung
itu. Sel api ini berfungsi baik untuk ekskresi maupun pengaturan osmosis. Sel
api berlubang dan mengandung silia yang berfungsi untuk mendorong air dan sisa metabolism
masuk kedalam saluran ekskresi. Pada masing-masing sisi tubuh biasanya terdapat
1-4 buah pembuluh pengumpul yang membentang longitudinal. Di bagian anterior
pembuluh-pembuluh sisi longitudinal tersebut mengadakan pertemuan, dihubungkan
oleh pembuluh transversal sedikit agak di depan bintik mata. Dibagian posterior
pembuluh-pembuluh sisi tersebut masih terpisah. Di bagian permukaan dorsal
daripada tubuhnya, pembuluh-pembuluh sisi tersebut bermuara pada suatu
pori-pori yang disebut nephridiophor. Pada permukaan dorsal saluran induk
mempunyai lubang ekskresi. Pengeluaran sisa metabolism berlangsung selain
melalui saluran ekskresi juga melalui lapisan gastrodermis. Belum mempunyai
organ respirasi sehingga pertukaran gas berlangsung secara difusi melalui
seluruh permukaa tubuhnya.
Sistem
Syaraf Susunan syaraf Planaria bila dibandingkan dengan susunan syaraf
Coelenterata sudah lebih maju, sebab pada Planaria ini sudah ditemukan sejumlah
ganglion yang berfungsi sebagai pusat susunan syaraf. Terdiri dari ganglion
serebral, terletak di bagian kepala dan berfungsi sebagai otak. Dari ganglion
serebral ini keluarlah cabang-cabang urat syaraf secara radier menuju ke arah
lateral, anterior dan posterior. Cabang anterior menuju ke bagian bintik mata,
cabang lateral menuju ke alat indra kemoreseptor sedangkan cabang posterior
terdiri dari satu pasang (kanan dan kiri) yang saling bersejajar yang
membentang di bagian ventral tubuh yang disebut tali syaraf. Alat Indera Alat
indera berupa bintik mata dan indera aurikel yang keduanya terletak di bagian
kepala. Bintik mata merupakan titik hitam yang terletak di bagian dorsal dari
kepala. Masing- masing bintik mata terdiri dari sel-sel pigmen yang tersusun
dalam bentuk mangkok yang dilengkapi dengan sel-sel syaraf sensoris yang sangat
sensitif terhadap sinar. Bintik mata tersebut sekedar dapat membedakan gelap
dan terang saja. Planaria bersifat photonegatif. Dari kenyataan bahwa bila
Planaria dikenai cahaya pada salah satu sisinya, maka cacing tersebut akan
bergerak menjauhi cahaya. Aurikel merupakan indera rasa, bau dan sentuhan. Jika
aurikel tidak berfungsi, maka hewan tersebut tidak dapat mengetahui jenis
makanan kesukaannya. Peranan Planaria di Kehidupan Sehari-hari Peranan Planaria
terhadap kehidupan manusia belum diketahui secara pasti. Namun secara umum
diperkirakan bahwa planaria dapat dijadikan bioindicator. Yakni sebagai
indikasi atau alat ukur untuk mengetahui apakah air pada suatu tempat sudah
tercemar atau tidak. Hal ini dikarenakan planaria hanya dapat hidup pada tempat
yang masih bersih dan belum tercemar oleh bahan-bahan kimia. Sudah banyak
ilmuan yang melakukan penelitian tentang cacing planaria, namun belum juga
ditemukan apakah manfaat dari cacing ini terhadap kehidupan manusia.
Penelitian-penelitian yang selama ini dilakukan oleh para peneliti hanyalah
berkisar tentang kemampuan regenerasi hewan ini.
1.2
Fasciola
hepatica/Fasciola gigantea(kelas Trematoda)
Fasciola hepatica atau disebut juga Cacing hati merupakan anggota dari Trematoda
(Platyhelminthes).Cacing
hati mempunyai ukuran panjang 2,5 – 3 cm dan lebar 1 - 1,5 cm. Pada bagian
depan terdapat mulut meruncing yang dikelilingi oleh alat pengisap, dan ada
sebuah alat pengisap yang terdapat di sebelah ventral sedikit di belakang
mulut, juga terdapat alat kelamin. Bagian tubuhnya ditutupi oleh sisik kecil
dari kutikula sebagai pelindung tubuhnya dan membantu saat bergerak.
Cacing
ini tidak mempunyai anus dan alat ekskresinya berupa sel api. Cacing ini
bersifat hemaprodit, berkembang biak dengan cara pembuahan sendiri atau silang,
jumlah telur yang dihasilkan sekitar 500.000 butir. Hati seekor domba dapat mengandung 200
ekor cacing atau lebih.Karena jumlah telurnya sangat banyak, maka akan keluar
dari tubuh ternak
melalui saluran empedu atau usus bercampur kotoran. Jika ternak tersebut
mengeluarkan kotoran, maka telurnya juga akan keluar, jika berada di tempat
yang basah, maka akan menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium. Larva tersebut akan
berenang, apabila bertemu dengan siput Lymnea auricularis
akan menempel pada mantel siput. Di dalam tubuh siput, silia sudah tidak
berguna lagi dan berubah menjadi sporokista.
Sporokista dapat menghasilkan larva lain secara partenogenesis yang disebut redia yang juga mengalami
partenogensis membentuk serkaria.
Setelah terbentuk serkaria, maka akan meninggalkan tubuh siput dan akan
berenang sehingga dapat menempel pada rumput sekitar kolam/sawah. Apabila
keadaan lingkungan tidak baik, misalnya kering maka kulitnya akan menebal dan
akan berubah menjadi metaserkaria.
Pada saat ternak makan rumput yang mengandung metaserkaria, maka sista akan
menetas di usus ternak dan akan menerobos ke dalam hati ternak dan berkembang
menjadi cacing muda, demikian seterusnya.
Cacing pita dewasa panjangnya bisa
mencapai 240-300 cm. Terdiri dari bagian kepala yang memiliki kait-kait kecil
dan badannya mengandung 1000 proglotid (bagian yang
mengandung telur).
Siklus hidupnya mirip cacing pita sapi, tapi babi hanya merupakan tuan rumah
perantara saja. Manusia juga bisa berperan sebagai tuan rumah perantara, dimana
telur cacing mencapai lambung bila tertelan atau bila proglotid berbalik dari
usus ke lambung. Embrio lalu dilepaskan di dalam lambung dan menembus dinding
usus, lalu akan sampai ke otot, organ dalam, otak dan jaringan dibawah kulit, dimana mereka membentuk kista.
Kista yang
hidup hanya menyebabkan reaksi ringan, sedangkan kista yang mati menimbulkan
reaksi yang hebat.
Infeksi oleh cacing dewasa biasanya tidak menyebabkan gejala.
Infeksi yang berat oleh kista bisa menyebabkan nyeri otot, lemah dan demam.
Bila infeksi sampai ke otak dan selaputnya, bisa menimbulkan peradangan, dan
bisa terjadi kejang.
Pada infeksi
cacing dewasa, telur
bisa ditemukan disekeliling dubur atau di dalam tinja. Proglotid atau kepala cacing harus ditemukan di dalam
tinja dan diperiksa dengan mikroskop untuk membedakannya dari cacing pita
lainnya. Kista
hidup di dalam jaringan (misalnya di otak) dan bisa dilihat dengan CT atau MRI. Kadang-kadang kista
bisa ditemukan pada pemeriksaan laboratorium dari jaringan yang diambil dari
bintil di kulit.
Juga bisa dilakukan pemeriksaan antibodi terhadap parasit.
1.3
Taenia
saginata/Taenia solium(kelas Cestoda)
Terdapat
tiga spesies
penting cacing
pita
Taenia, yaitu Taenia solium, Taenia saginata, dan Taenia asiatica. Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting karena
dapat menyebabkan penyakit
pada manusia, yang dikenal dengan istilah taeniasis dan sistiserkosis.
Cacing pita Taenia dewasa hidup dalam usus manusia yang
merupakan induk
semang definitif.Segmen tubuh Taenia
yang telah matang dan mengandung telur keluar secara aktif dari anus manusia atau
secara pasif bersama-sama feses manusia.Bila inang definitif (manusia) maupun inang antara (sapi dan babi) menelan telur maka telur yang menetas
akan mengeluarkan embrio
(onchosphere) yang kemudian
menembus dinding
usus. Embrio cacing yang
mengikuti sirkulasi darah limfe
berangsur-angsur berkembang menjadi sistiserkosis yang infektif di dalam otot tertentu.Otot yang paling sering
terserang sistiserkus yaitu jantung, diafragma, lidah, otot
pengunyah, daerah esofagus, leher dan otot antar tulang rusuk.
Infeksi Taenia dikenal dengan istilah Taeniasis dan Sistiserkosis.Taeniasis
adalah penyakit
akibat parasit
berupa cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia yang dapat menular dari hewan ke manusia, maupun
sebaliknya.Taeniasis pada manusia disebabkan oleh spesies Taenia solium atau dikenal dengan cacing
pita babi, sementara Taenia saginata dikenal juga sebagai cacing pita sapi.
Sistiserkosis pada manusia adalah
infeksi jaringan
oleh bentuk larva Taenia
(sistiserkus) akibat termakan telur cacing Taenia solium
(cacing pita babi).Cacing
pita babi dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia, sedangkan cacing pita sapi tidak
dapat menyebabkan sistiserkosis pada manusia.Sedangkan kemampuan Taenia asiatica dalam menyebabkan sistiserkosis belum
diketahui secara pasti.Terdapat dugaan bahwa Taenia asiatica merupakan penyebab sistiserkosis di Asia.
Manusia terkena
taeniasis apabila memakan daging sapi
atau babi yang setengah
matang yang mengandung sistiserkus sehingga sistiserkus berkembang menjadi Taenia dewasa dalam usus manusia.Manusia
terkena sistiserkosis bila tertelan makanan atau minuman yang
mengandung telur Taenia solium.Hal ini juga dapat
terjadi melalui proses infeksi sendiri oleh individu penderita melalui pengeluaran
dan penelanan kembali makanan.
Sumber penularan cacing pita Taenia pada manusia yaitu:
- Penderita taeniasis sendiri dimana tinjanya
mengandung telur
atau segmen tubuh (proglotid) cacing pita.
- Hewan,
terutama babi
dan sapi
yang mengandung larva
cacing pita (sistisekus).
- Makanan, minuman dan lingkungan
yang tercemar oleh telur cacing pita.
Cacing
pita Taenia tersebar secara
luas di seluruh dunia.
Penyebaran Taenia dan kasus
infeksi akibat Taenia lebih
banyak terjadi di daerah tropis
karena daerah tropis memiliki curah hujan yang tinggi dan iklim yang sesuai untuk
perkembangan parasit ini.Taeniasis dan sistiserkosis akibat infeksi cacing pita
babi Taenia solium merupakan
salah satu zoonosis
di daerah yang penduduknya banyak mengkonsumsi daging babi dan tingkat sanitasi
lingkungannya
masih rendah, seperti di Asia Tenggara,
India,
Afrika
Selatan, dan Amerika Latin.
Salah satu
bukti lebih luasnya penyebaran Taenia
di daerah tropis
yaitu ditemukannya spesies ketiga penyebab taeniasis pada manusia di beberapa
negara Asia yang
dikenal dengan sebutan Taiwan Taenia
atau Asian Taenia. Asian Taenia
dilaporkan telah ditemukan di negara-negara Asia yang umumnya beriklim tropis seperti Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Korea dan Cina. Kini Asian Taenia disebut Taenia asiatica. Kejadian T. asiatica yang tinggi terutama
ditemukan di Pulau
Samosir, Indonesia.
Sistiserkosis
merupakan infeksi
yang sering ditemukan pada babi dan manusia terutama di negara
berkembang.Penyebaran sistiserkus pada manusia
dipengaruhi oleh kontak antara babi dan feses manusia, tidak adanya pemeriksaan kesehatan daging saat
penyembelihan, dan konsumsi daging mentah atau setengah matang.[6]
Penyebaran penyakit ini luas karena Taenia
dapat memproduksi puluhan bahkan ratusan ribu telur setiap hari yang dapat disebar
oleh air hujan ke lingkungan
bahkan pada lokasi
yang jauh dari tempat pelepasan telur.
Infeksi cacing pita Taenia tertinggi di Indonesia
terjadi di Provinsi Papua.Di
Kabupaten Jayawijaya Papua, Indonesia
ditemukan 66,3% (106 orang dari 160 responden) positif menderita taeniasis
solium/sistiserkosis selulosae dari babi .Sementara 28,3% orang adalah penderita
sistiserkosis yang dapat dilihat dan diraba benjolannya di bawah kulit. Sebanyak 18,6%
(30 orang) di antaranya adalah penderita sistiserkosis selulosae yang
menunjukkan gejala epilepsi. Dari 257 pasien yang
menderita luka bakar di Papua, sebanyak 82,8% menderita epilepsi akibat adanya
sistiserkosis pada otak.
Prevalensi sistiserkosis pada
manusia berdasarkan pemeriksaan serologis pada masyarakat Bali sangat tinggi
yaitu 5,2% sampai 21%, sedangkan prevalensi taeniasis di provinsi yang
sama berkisar antara 0,4%-23%.Sebanyak 13,5% (10 dari 74 orang) pasien yang
mengalami epilepsi
di Bali didiagnosa
menderita sistiserkosis di otak. Prevalensi taeniasis T. asiatica di Sumatera
Utara berkisar 1,9%-20,7%. Kasus T.
asiatica di Provinsi ini umumnya disebabkan oleh konsumsi daging babi hutan
setengah matang.
Cacing pita Taenia dapat menimbulkan penyakit yang disebut taeniasis dan
sistiserkosis. Gejala klinis terbanyak yang dikeluhkan adalah:
- Pengeluaran segmen tubuh cacing dalam fesesnya (95%)
- Gatal-gatal pada anus (77%)
- Mual (46%)
- Pusing (42%)
- Peningkatan nafsu makan (30%)
- Sakit kepala (26%)
- Diare (18%)
- Lemah (17%)
- Merasa lapar (16%)
- Sembelit (11%)
- Penurunan berat badan (6%)
- Rasa tidak enak di lambung (5%)
- Letih (4%)
- Muntah (4%)
- Tidak ada selera makan saat lapar (1%)
- Pegal-pegal pada otot (1%)
- Nyeri di perut, mengantuk, serta kejang-kejang, gelisah, gatal-gatal di kulit dan gangguan pernapasan (masing-masing <1%).
Sistiserkosis
menimbulkan gejala dan efek yang beragam sesuai dengan lokasi parasit dalam
tubuh.Manusia dapat terjangkit satu sampai ratusan sistiserkus di jaringan
tubuh yang berbeda-beda.Sistiserkus pada manusia paling sering ditemukan di
otak (disebut neurosistiserkosis), mata, otot dan lapisan bawah kulit.
Dampak kesehatan
yang paling ditakuti dan berbahaya akibat larva cacing Taenia yaitu neurosistiserkosis yang dapat menimbulkan kematian.Neurosistiserkosis
adalah infeksi sistem saraf pusat akibat sistiserkus dari larva Taenia solium. Neurosistiserkosis
merupakan faktor risiko penyebab stroke baik pada manusia yang muda maupun setengah baya[25],
epilepsi dan
kelainan pada tengkorak.Sistiserkosis
merupakan penyebab 1% kematian pada rumah sakit
umum di Meksiko
City dan penyebab 25% tumor
dalam otak.
Pengendalian cacing
pita Taenia dapat dilakukan
dengan memutuskan siklus hidupnya. Pemutusan siklus hidup cacing Taenia sebagai agen penyebab penyakit
dapat dilakukan melalui diagnosa dini dan pengobatan terhadap penderita yang
terinfeksi.Beberapa obat
cacing yang dapat digunakan yaitu Atabrin, Librax dan Niclosamide dan
Praziquantel. Sedangkan untuk mengobati sistiserkosis dapat digunakan
Albendazole dan Dexamethasone. Untuk mengurangi kemungkinan infeksi oleh Taenia ke manusia maupun hewan diperlukan
peningkatan daya tahan tubuh inang.
Hal ini dapat dilakukan melalui vaksinasi pada ternak, terutama babi di daerah
endemis taeniasis/sistiserkosis serta peningkatan kualitas dan kecukupan gizi pada manusia.
Lingkungan
yang bersih sangat diperlukan untuk memutuskan siklus hidup Taenia karena lingkungan yang kotor
menjadi sumber penyebaran penyakit. Pelepasan telur Taenia dalam feses ke lingkungan
menjadi sumber penyebaran taeniasis/sistiserkosis.Faktor risiko utama transmisi
telur Taenia ke babi yaitu pemeliharaan
babi secara ekstensif, defekasi manusia di
dekat pemeliharaan babi sehingga babi memakan feses manusia dan pemeliharaan
babi dekat dengan manusia.Hal yang sama juga berlaku pada transmisi telur Taenia ke sapi. Telur cacing ini
dapat terbawa oleh air
ke tempat-tempat lembap
sehingga telur cacing lebih lama bertahan hidup dan penyebarannya semakin luas.
Comments
Post a Comment