G Protein-Coupled Receptors “Structural Dynamics and Functional Implications” PRODI ILMU KELAUTAN FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA DARUSSALAM 2016
G Protein-Coupled Receptors
“Structural Dynamics and
Functional Implications”
Di Susun Oleh:
Saidin Isnaini A.AMP
PRODI ILMU KELAUTAN
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM
2016
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan tentang biologi
molekuler mengalami perkembangan yang sangat pesat, hanya kurang dari 60
tahun saja, sejak struktur DNA Doble helix di temukan oleh watsen dan crick
(1953), yang disebut-sebut sebagai fondasi berkembangnya ilmu biologi
melekuler. Perkembangan biologi molekuler berkembang pesat mulai tahun 70-an
karena isolasi DNA dan manipulasi DNA berhasil dilakukan.
Pada era 1980-an,
perkembangan biologi molekuler mulai mengarah ke dunia kesehatan sehingga
gen-gen yang berkaitan dengan kesehatan, perkembangan dan pertumbuhan banyak
yang berhasil di deskripsikan. Penemua penting yang tecatat di dalamnya
adalah penemuan isulin (1982).
Penelitian HGP resmi diluncurkan pada
tahun 1990, dan selesai pada feburari 2001 (belum di analisis), analsis hasil
HGP resmi di umumkan pada tahun 2003, yang dilaksanakan sekaligus untuk
memperingati 50 tahun di temukan structure DNA. Selama itu pula genom dari
beberapa makhluk hidup dan rekayasa genetika mulai di lakukan. Pada tahun 1995,
genom dari H. Influenza (virus) telah selesai, menyusul berikutnya S. Cereviceae (yeast) (1996), C. elegan (Worm) (1997), Drosophyla (fruit fly) (2000), tikus (2002), yang
selanjutnya makhluk hidup tersebut sering digunakan sebagai hewan percobaan.
Penemuan penting lainnya yaitu berhasil di klonnya hewan tingkat tinggi (Domba
Dolly) pada tahun 1997.
Memasuki era 2000-an, pengetahuan
mengenai biologi molekuler bergeser kedalam pemahaman sifat di dalam sel,
pemahaman ini sudah di mulai pada pertenggahan 1990-an, akan tetapi baru
popular pada era 20-an. Sifat-sifat yang di kaji mencakup bagaimana interaksi
di dalam sel sehingga dapet teroganisir rapi sehingga dapat melakukan aktivitas
sel, bagaiaman suatu gen dapat di transkripsi, bagaimana proses activator dan
inhibitor itu berjalan dan lain sebagainya. Pada makalah ini akan dibahas
perkembangan biologi dari bidang biokimia yang menerima penghargaan nobel pada
10 Oktober lalu, yaitu Robert Lefkowitz dan Brian Kobilka, yang menemukan
struktur dari G Protein-Coupled Receptors, yang berperan sangat penting dalam
dunia pengobatan.
BAB II
PEMBAHASAN
Tubuh kita merupakan sistem fine-tuned
dari interaksi antara miliaran sel. Setiap sel memiliki reseptor kecil yang
memungkinkan untuk merasakan lingkungannya, sehingga dapat beradaptasi dengan
situtations baru. Pada tanggal 10 Oktober lalu, Robert Lefkowitz dan Brian
Kobilka menerima Penghargaan Nobel dalam bidang Kimia untuk penemuannya yang
mengungkapkan bagaimana reseptor G-protein-coupled bekerja. Penemuan
mereka mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang selama ini menjadi
tembok penhalang di dunia medis, diantaranya:
1. Bagaimana ini dicapai pada tingkat molekuler?
2. Molekul apa yang berperan dan bagaimana molekul ini mengirim pesan?
3. Bagaimana mereka membedakan antara berbagai jenis sinyal?
4. Bagaimana sinyal diatur?
Untuk memberikan jawaban tersebut,
peneliti diperlukan untuk mengidentifikasi komponen molekul dari signaling dan
memahami bagaimana mereka bekerja dan penyelidikan biokimia, biofisik dan
struktural. Uji coba mengenai pemahaman kinerja G Protein-Coupled Receptors
sebenarnya sudah di muai sejak 40 tahun yang lalu, akan tetapi baru beberapa tahun
ini dapat dijelaskan dengan jelas oleh Robert Lefkowitz dan Brian Kobilka,
kedua orang ini mampu menjelaskan secara mendetail bagaimana, stimulus dari
luar sel dapat mempengaruhi kinerja di dalam sel seperti halnya sel-sel khusus
yang bertugas untuk menjadi alat indra. Menurut Robert Lefkowitz dan Brian
Kobilka ransangan itu sama dengan yang dimiliki oleh sebuah sel dan cara
bekerjana hamper sama dengan sel-sel kompleks yang dimiliki oleh retina yang
digunakan untuk menangkap rangsang cahaya, atau sel-sel khusus pada hidung yang
digunakan untuk menangkap bau. Dan pada kenyatannya separoh obat yang ada
didunia ini bekerja seperti itu, sehingga hal inilah yang menjadi pondasi
penting untuk dunia kesehatan.
A. Sejarah penemuan G-protein -Coupled Receptors
Pada akhir abad ke 19, ketika ilmuan
mulai mengujicobakan effek adrenalin pada tubuh, mereka menemukan bahwa ini
membuat detak jantung menjadi lebih tinggi dan tekanan darah meningkat dan juga
merelaksasi pupil. Karena mereka menganggap bawasannya adrenalin bekerja
memalalui sel saraf di tubuh. Untuk membuktikan hasil tersebut mereka
melumpuhkan system syaraf hewan di labolatorium. Akan tetapi hasil perlakuan
menunjukkan efek dari adrenalin tersebut masih ada, sehingga dapat disimpulkan
bahwa sel pasti mempunyai reseptor yang mampu mengenali substansi kimia, baik
berupa hormone, racun atau obat-obatan diluar lingkungan mereka.
Akan tetapi ketika para ilmuan
dihadapkan dengan reseptor ini, mereka selalu menemui jalan buntu. Mereka ingin
mengetahui reseptor apa yang ada dan bagaimana mereka mengirimkan sinyal kepada
susunan sel yang kompleks. Adrenalin mengatur pada daerah luar sel, dan dapat
mengatur untuk mengubah metabolism. Setiap sel memiliki dinding: suatu membran
yang merupakan molekul lemak yang memisahkan antara lingkungan dalam dengan
lingkungan luar sel, bagaimana signal tesebut bisa melewat dinding sel? Dan
bagaimana sel dapat mengetahui apa yang terjadi di lingkungan luar?
Reseptor ini belum teridentifikasi
selama beberapa decade. Selain percobaan ini, para ilmuan juga mengembankan
obat-obatan yang secara spesifik bekerja memalui reseptor ini. Pada tahun
40-an, seorang ilmuan dari amerikan Raymond Ahlquist mengujicobakan bagamana
reaksi organ untuk beberapa substansi yang mirip dengan adrenalin, percobaannya
berujung pada kesimpulan pasti ada dua reseptor adrenalin yang berbeda untuk
adrenalin, satu untuk konstraksi otot polos dan yang lainnya untuk menstimulus
jantung, dia menyebutkan reseptor tersebut alpha dan beta, segera setelah ini para ilmuan
menemukan penghambat beta yang sekarang ini digunakan sebagai obat jantung,
karena tidak mungkin ada satu zat yang mampu mempengaruhi keseluruhan kinerja
tubuh.
Pada tahun 1980-an¸ Lefkowitz bersama
kelompok penelitinya mencoba untuk menemukan gen yang mengkode reseptor ini,
dengan harapan, gen yang merupakan blueprint ini apabila diisolasi dapat
memberi gambaran bagaimana reseptor ini bekerja. Pada waktu yang sama Lefkowitz
bekerja sama dengan doctor muda, Brian Kobilka.
Kobilka dalam hal ini tertarik untuk mencari gen yang sejak tahun 1980-an
menjadi misteri. kobilka memiliki ide yang sangat cemerlang pada saat itu yang
dapat memungkinkan untuk mengisolasi gen, yaitu dengan mempelajari reseptor,
yang mana reseptor tersebut yang memiliki tujuh bentukan memanjang dan sisi
hidrofobik yang berbentuk spiral yang disebut sebagai helices, Ini memberitahu
para ilmuwan bahwa reseptor mungkin angin jalan bolak-balik melalui dinding sel
tujuh kali.
Struktur ini sama dengan reseptor yang
ada pada retina mata manusia, maka dengan anggapan ini maka timbullah ide
dimungkinkannya dua reseptor ini berhubungan, meskipun keduanya memiliki fungsi
yang sangat berbeda. Sepanjang pencarian ini R. Lefkowitz besama Kobilka telah
menemukan lebih dari 30 protein reseptor lainnya yang bekerja dengan G-protein,
dan pada akhirnya dapat disimpulkan, “Ada beberapa reseptor yang sangat
mirip dan memiliki yang sama dalam bekerjanya”.
Sejak ditemukannya dasar yang menjadi kunci dari semua permasalahan, tabir
misteri reseptor GPCRs sedikit-demi sedikit mulai dapat dijelaskan, bagaimana
GPCRs bekerja pada tingkat molecular. Sampai akhirnya mereka utarakan pada
tahun 2011 lalu.
B. G Protein-Coupled Receptors: Structural Dynamics and Functional Implications
Setelah sekitar 20-an tahun mereka
mempelajari bagaimana untuk memurnikan dan menangain βAR. Mereka berhasil
mengisolasi dalam jumlah yang mencukupi dari kemelimpahan protein-protein yang
ada pada paru-paru hamster untuk mendapatkan terminal N, dari polipeptida
khusus. Berdasarkan informasi ini mereka merancang untuk mendegenerasi
oligopeptida dam mempergunakannya untuk mengkloning gen βAR dan akhirnya gen
telah berhasil mereka dapatkan, lebih membahagikan lagi, gen yang didapat
merupakan gen yang utuh, tidak mempunyai intron, yang terdiri dari tujuh helix
transmembran dan sequent rodopsin yang memiliki homologi dengan rodopsin,
Setelah menemukan gen yang di cari
Kobilka dipindahkan ke Stanford University, yang tujuannya untuk membuat
gambaran tiga dimensi mengenai reseptor tersebut. Penggambaran
Protein adalah sebuah proses yang melibatkan langkah-langkah yang rumit.
Protein terlalu kecil untuk dibedakan dalam mikroskop biasa. Oleh karena itu,
para ilmuwan menggunakan metode yang disebut kristalografi sinar-X. Mereka
mulai dengan memproduksi kristal, di mana protein erat dikemas dalam pola
simetris, seperti molekul air dikemas dalam kristal es atau karbon dalam
berlian. Peneliti kemudian menembak sinar-X melalui kristal protein. Ketika
sinar mengenai protein, maka sinar akan mereka menyebar. Dari pola difraksi
ini, para ilmuwan dapat mengetahui apa yang terlihat seperti protein pada
tingkat atom.
Gambaran pertama dari struktur kristal
protein yang populer pada tahun 1950. Sejak itu, sejak para ilmuan dapat
menggunakan X-ray dan dapat menggambarkan ribuan struktur protein. Namun,
sebagian besar dari mereka telah larut dalam air, yang memfasilitasi proses
kristalisasi. Hanya sedikit peneliti yang berhasil menggambarkan protein
terletak di membran lemak dari sel. Dalam air, protein protein memiliki
kelarutan yang rendah seperti halnya minyak, dan mereka cenderung membentuk
gumpalan lemak. Selain itu, GPCRs memliki sifat mobile (mereka mengirimkan
sinyal dengan bergerak), tapi di dalam kristal mereka memiliki bentuk yang
tetap. untuk mengkristalisasinya merupakan tantangan yang besar. Kobilka
memerlukan lebih dari dua dekade untuk menemukan solusi untuk semua masalah
ini.
Mereka mendapat gambar reseptor
pada saat ketika mentransfer sinyal dari hormon di luar sel ke protein G-di
bagian dalam sel β-adrenergik reseptor mengubah bentuk bila diaktifkan. Sebagai
hormon (berwarna oranye) menempel ke luar, bagian dalam membuka seperti
karangan bunga. Pada gambar di bawah, reseptor diaktifkansehingga bagian
menghadap dalam akan nampak. Atom digambarkan sebagai bola. Bagian yang larut
dalam air berwarna biru muda. Lemak (hidrofobik) bagian berwarna biru gelap.
Ketika hormon mengikat (bagian kanan), kesenjangan hidrofobik membuka di mana
G-protein α-subunit menempel.
Pemetaan genom manusia telah
mengungkapkan hampir seribu gen yang kode untuk GPCRs. Sekitar setengah dari
mereka menerima reseptor bau dan merupakan bagian dari sistem penciuman.
Sepertiga dari mereka adalah reseptor untuk hormon dan zat sinyal, seperti
dopamin, serotonin, glukagon prostaglandin, dan histamin. Beberapa reseptor
menangkap cahaya yang jatuh pada mata, sementara yang lain berada di lidah dan
memberi kita indera perasa. Lebih dari seratus reseptor tetap menyajikan
tantangan bagi para ilmuwan. Selain menemukan banyak variasi reseptor, para
peneliti, yang dipimpin oleh Lefkowitz dan Kobilka, telah menemukan bahwa
mereka multifungsi, reseptor tunggal dapat mengenali beberapa hormon di luar
sel. Selain itu, di dalam sel, mereka tidak hanya berinteraksi dengan
G-protein, tetapi juga dengan protein yang lain, misalnya, yang dipimpin oleh
protein yang disebut arrestins. Kenyataan bahwa reseptor ini tidak selalu
digabungkan ke G-protein telah menyebabkan para ilmuwan untuk mulai menyebut
mereka sebagai tujuh transmembran reseptor (7TM), setelah berbentuk spiral
string tujuh yang melintasi dinding sel.
C. Siklus G-protein activation/deactivation
Beberapa molekul kecil dapat berperan
sebagai agonist, inverse agonist dan antagonist yang memodulasi aktifitas
sellular dengan mengikat GPCRs sehingga menimbulkan respon yang spesifik.
Agonist berperan sebagai pengikat GPCR dan menyetabilkan bentuk sehingga
mengaktivasi protein G yang ada di dalamnya, sedangkan yang bertindak sebagai
penonaktivasi disebut dengan inverse agonist. Antagonist atau inhibitor
berperan sebagai penghambat substansi agonist dengan cara memblokkir sisi
pengikat agonist. Sifat-sifat ini adalah dasar dari perkembangan pengobatan dan
menjadikan GPCRs merupakan target penting untuk pengobatan. Cotohnya adalah
penggunakan senyawa propanol dan beberapa derivatnya yang digunakan untuk
β-blokers yang digunakan untuk meningkatkan detak jantung dan aliran darah.
Contoh dari agonist yang bertugas untuk aktivasi adalah dopamine dan serotonin
yang digunakan untuk mengurangi penyakit parkinsong, migraine dan kondisi
neuropsikiatric. Penggunaan invers agonist adalah meningkatkan avinitas
reseptor GABA yang digunakan untuk mempertajam ingatan dan pembelajaran.
D. Signaling
Sebuah aspek penting dari mekanisme
signaling adalah bahwa ligan tidak melewati membran. Sebaliknya, sinyal
ditransfer ke dalam sel oleh perubahan konformasi dalam protein reseptor, yang digabungkan
dengan peristiwa pengikatan ligan. Peningkatan konsentrasi agonis di luar sel
meningkatkan fraksi reseptor yang terikat ligan.
Protein reseptor di membran bersifat
dinamis dan dapat mengambil sejumlah konformasi, memiliki dua permukaan yang
disebut konformasi aktif dan aktif. Reseptor masing-masing memiliki afinitas
tinggi untuk mengikat senyawa agonist di bagian ekstraselulernya. Pengikatan
agonis menyebabkan konformasi menjadi aktif, dan meningkatkan afinitas protein
G-di bagian dalam sel.
Reaksi kecil di bagian dalam sel dimulai
dengan pertukaran nukleotida dan G-protein terdisosiasi menjadi subunit (Gα, Gβ
dan Gγ,). Gα mengikat dan menstimulasi enzim seperti adenilat adelnylate. Ini
menghasilkan cAMP nukleotida siklik, yang berdifusi dengan mudah dan berfungsi
sebagai “secont messenger”. Protein lainnya dapat berinteraksi dengan Gβ dan Gγ
untuk lebih memodulasi sinyal. Pengaktifan ini dapat terjadi cukup lama
untuk mengaktifkan beberapa protein G, yang bertujuan menguatkan sinyal.
Reaksi G-protein dapat terasosiasi kembali setelah hidrolisis nukleotida dan
dapat masuk kembali siklus.
Pandangan pertama mengenai perubahan
struktur selama sinyal yang diberikan berasal percobaan biokimia dan biofisik.
Wayne Hubbell dan Gobind Khorana menemukan bahwa gerakan helix 6 sangat penting
dalam mekanisme aktivasi, dengan menggunakan resonansi paramagnetik elektron
(EPR) spektroskopi dan spin-labeled sistein mutan. Rincian transisi
struktural protein lebih lanjut diketahui dari studi menggunakan fluoresensi,
inframerah (IR) dan nuklir spektroskopi resonansi magnet (NMR), terjadi kovalen
silang dan spektrometri massa yang berkombinasi dengan pertukaran proton amida.
Hasil studi ini memberikan rincian lebih lanjut ke dalam transisi struktural
pada bagian ujung, reseptor bebas berbenturan dengan turner kompleks. Ada
perubahan ikatan struktural yang berbeda di sekitar agonis dan reorientasi luas
heliks transmembran.
Seperti protein lain yang bertugas untuk
mengirimkan informasi melalui jarak jauh, kerangka heliks menguatkan perubahan
konformasi kecil di salah satu ujung protein ke dalam perubahan konformasi yang
jauh lebih besar di ujung lain. Heliks membentuk struktur seperti batang, dan
sehingga reseptor 7TM dapat di baying sebagai seikat batang yang
tenggelam dalam membran. Jika bundle di ujung (sisi NH3) berikatan dengan
ligant, bundel membuka seperti buket mawar di ujung lain. Perubahan kecil dalam
jaringan sisi-rantai interaksi di sekitar lokasi agonis-mengikat merambat ke
perubahan struktural yang lebih besar di sisi intraseluler. Ini membuka tempat
pengikatan protein G-dan merupakan sinyal yang dikirim dari luar ke dalam sel.
Perubahan didalam intrasellular mengakibatkan memicunya beberapa reaksi, ketika
protein ligant berikatan dengan reseptor maka akan mengaktifka GDP binding
reseptor, yang akan memicu aktifnya 3 protein sub-unit, yang disebut α, β, dan
γ. Protein sub unit α dan γ mempunyai ikatan dengan plasma membrane, sedangkan
β, berada di tengah-tengah protein subunit α dan γ, GDP protein sebenarnya
memicu semua protein sub unit dalam keadaan tidak aktif, ketika ada ligan
agonist berikatan dengan reseptor, maka protein G di dalam sel akan berdekatan
dengan 7TM yang akan mengubah bentuk konformasi pada protein sub unit α,
sehingga sisi aktif yang sebelumnya mengikat GDP akan beralih fungsi untuk
mengikat GTP, pengikatan GTP ini akan memicu semua komponen pada sub-unit yang
dapat memerankan fungsinya
Gambar. Cara kerja 7TM
masing-masing, protein sub-unit α akan tetap berikatan dengan GTP sedangkan
protein subunit β dan pritein sub-unit γ, masih menjadi kesatuan atau disebut
dengan βγ protein compleks. Protein sub-unit α, dapat berikatan dengan protein
target sehingga dapat menghasilkan signaling lain (secont masangger), begitu
juga dengan perotein sub-unit lainnya yang dapat memicu protein target lain
sehingga dapat menimbulkan efek yang banyak dalam satu ligant agonist saja. Akan
tetapi setelah protein subunit α berfungsi sebagai secont masengger, makat GTP
akan beralih konformasi lagi sehingga akan berganti menjadi GTP, perubahan
konformasi tersebut memicu semua protein sub-unit bergabung.
BAB III
KESIMPULAN
1. Penemuan struktur atau
gambaran G Protein-Coupled Receptors, baik secara sekuen basa nukleotida dan
struktur protein yang ada merupakan penemuan yang luar biasa pada bidang
biokimia, penemuan ini memungkinkan untuk perancangan obat-obatan yang didesain
supaya obat tersebut mampu dikenali oleh receptor.
2. sel mempunyai reseptor
yang mampu mengenali substansi kimia, baik berupa hormone, racun atau
obat-obatan diluar lingkungan mereka.
3. Penggambaran protein
di lakukan dengan metode kristalografi sinar-X
DAFTAR PUSTAKA
Steward K. B. 2007. The Human Genetic
Code- The Human Genome Project and Beyont. (www. Genetic. Edu. Au)
Rosenbaum M. D., Rasmeussen F. G. &
Kobilka K. B. 2009. The structure of protein and fungtion of G-protein-coupled receptor.
Insight review. Macmillan 154-363.
Lefkowitz R. dan Kobilka K. B. 2012.
G-Protein-Coupled receptors. Kungl. Vetenskaps Akademien
Dallman. 2009 video. Youtube. Essential
Cell biology, 3 rd Edition by Albert, Bray, Hopkin, Johnson, Lewis, Raff, Robert,
dan Walter. By Gorland Science
Comments
Post a Comment