SEJARAH HIDUP SYEKH HAMZAH FANSYURI


SEJARAH HIDUP HAMZAH FANSURI

SEJARAH HIDUP HAMZAH FANSURI
A. Riwayat Hidup Syekh Hamzah Fansuri
Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang cendekiawan, ulama tasawuf, sastrawan dan budayawan terkemuka yang diperkirakan hidup antara abad ke-16 sampai awal ke-17.[26] Tahun lahir dan wafat Syekh tak diketahui dengan pasti. Riwayat hidup Syekhpun sedikit sekali diketahui. Sekalipun demikian, dipercaya bahwa Hamzah Fansuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17. Kejian terbaru dari Bargansky menginformasikan bahwa Syekh hidup hingga akhir masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) dan mungkin wafat beberapa tahun sebelum kedatangan Nuruddin ar-Raniry yang keduakalinya di Aceh pada tahu 1637. Sebelumnya, Syed Muhammad Naguib al-Attas berpendapat bahwa Syekh hidup sampai masa awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang masyhur itu.
Barginsky mengutip laporan laksamana Perancis Bealeu yang telah dua kali mengunjungi Aceh. Kungjungan kedua dilakukan pada tahun 1620 semasa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Dalam laporannya, Bealeu antara lain mengatakan; ketika melewati istana dia melihat Sultan Aceh murka kepada seorang tokoh kerohanian yang berwajah kenabian dengan menutup pintu keras-keras. Seandainya tokoh ini seorang pejabat istana seperti Syamsuddin Pasai, sudah tentu tak akan dimurkai oleh Sultan. Selain itu, dia tentu tak akan berani menegur Sultan yang sedang menyiapkan upacara meditasi menyambut datangnya bulan purnama. Bargansky memastikan bahwa tokoh kerohanian itu adalah Syekh Hamzah Fansuri, sedang pejabat keagamaan yang tampak bersama Sultan adalah Syekh Syamsuddin Pasai yang ketika itu menjabat perdana menteri. Keberanian tokoh kerohanian itu untuk menegur Sultan sejalan dengan keberanian Syekh Hamzah Fansuri menyampaikan kritik yang ditujukan kepada Sultan, khususnya sehubungan dengan penyimpangan praktek keagamaan dan kerohanian yang dilakukan para pembesar istana Aceh termasuk Sultan.[27]
Tempat lahir Hamzah Fansuri juga menimbulkan perselisihan faham. Pada umumnya para sarjana berpendapat bahwa Hamzah Fansuri dilahirkan di Barus, sebuah bandar yang terletak di pandat Barat Sumatera Utara diantara Singkel dan Sibolga.[28] Ia berasal dari keluarga Fansuri, yang telah turun temurun berdiam di Fansur.[29] Fansuri adalah nama yang diberikan pelaut zaman dahulu kala. Tetapi menurut Syed Muhammad Naguib al-Attas, Hamzah Fansuri dilahirkan di Syahri Nawi, yaitu Ayuthia, Ibukota Siam yang didirikan pada tahun 1350. Syed Muhammad al-Attas sampai kepada kesimpulan berdasarkan dua lirik syair Hamzah Fansuri yang berbunyi:
“Hamzah nin asalnya Fansuri
Mendapat wujud di tanah Syahr Nawi”[30]
Terdapat beberapa kata kunci yang dapat memberikan petunjuk tempat kelahirannya, yaitu “wujud” dan “Syahr Nawi”. Al-Attas merujuk kepada “wujud” sebagai keberadaan (laghir) Hamzah Fansuri. Ide ini membawanya kepada keyakinan bahwa meskipun orang tuanya berasal dari Barus, Hamzah lahir di Syahr Nawi, sebuah nama tua dari kota Ayuthia.[31]
Professor Dreweas tidak setuju dengan tafsiran pada dua lirik di atas. Menurut Drewes, mendapat wujud berarti mendapat ajaran tentang wujudiyah. Kota Syahri Nawi pada paruh kedua abad ke-16 adalah kota dagang yang banyak dikunjungi oleh pedagang Islam dari India, Paris, Turki dan Arab. Sedah tentu banyak ulama juga tinggal di bandar ini, dan di bandar inilah Hamzah berkenalan dengan ajaran wujudiyah yang kemudian dikembangkannya di Aceh.[32]
Ia banyak melakukan perjalanan, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekkeh dan Madinah. Seperti sufi lainnya, pengembaraannya bertujuan untuk mencari ma’rifat Allah SWT.[33] Setelah Hamzah fansuri mendapat pendidikan di Singkel dan beberapa tempat lainnya di Aceh, beliau meneruskan perjalanannya ke India, Persia dan Arab. Karena itu beliau fasih berbahasa Melayu, Urdu, Parsi dan Arab. Dipelajari ilmu fiqh, tasawuf, tauhid, akhlaq, mantik, sejarah, bahasa Arab dan sastranya. Ilmu-ilmu itu pula beliau ajarkan dengan tekun kepada murid-muridnya di Banda Aceh, Geugang, Barus dan Singkel. Beliau membangun dan memimpin pesantren di Oboh Simpangkanan Singkel sebagaimana abangnya Syekh Ali Fansuri membangun dan memimpin pesantren di Simpangkiri Singkel, pesantren Simpangkanan merupakan lanjutan dari Simpangkiri.[34]
Bersama-sama dengan Syekh Syamsuddin as-Sumatrani, Hamzah Fansuri adalah tokoh Wujudiyah (penganut paham Wahdatul Wujud). Ia dianggap sebagai guru Syamsuddin as-Sumatrani. Bersama dengan muridnya ini, Hamzah Fansuri dituduh menyebarkan ajaran-ajaran sesat oleh Nuruddin ar-Raniry, ulama yang paling berpengaruh di istana Sultan Iskandar Muda.[35] Ar-Raniry menyatakan didalam khutbah-khutbahnya bahwa ajaran tasawuf Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani termasuk ajaran kaum zindiq dan panteis. Ribuan buku karangan penulis Wujudiyah ditumpuk dihadapan Masjid Raya Kutaraja untuk dibakar sampai musnah.[36]
Hamzah Fansuri adalah seorang ahli tasawuf, zahid dan mistik yang mencari penyatuan dnegan al-khaliq dan menemunya dijalan kasih Allah atau Isyk. Bertujuan mengenal inti sari ajaran tasawuf, ia lama mengembara; misalnya ke Baghdad, kota yang menjadi pusat tarekat Qadariyah, kemudian juga ke kota suci Mekkah dan Madinah, serta Kudus di Jawa.[37] Pernyataan ini tersirat dalam syair berikut:
“asalnya manikan tiada kan layu
Dengan ilmu dunia dimanakan payu”[38]
Syekh Hamzah Fansuri menggunakan kata payu (bahasa Jawa) tampak sekali bahwa Syekh menguasai bahasa Jawa. Syair ini menepis keragu-raguan bahwa kunjungan Syekh ke Kudus bukan sekedar bermakna simbolis.[39] Drewes membantah pendapat diatas yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri pernah mengembara dari Barus ke Kudus. Menurutnya, Hamzah Fansuri tidak pernah mengatakan bahwa dia pernah menempuh perjalanan dari Barus ke Kudus.[40]
Agaknya Hamzah Fansuri mencapai penyatuannya dengan al-khaliq yangsudah lama dicita-citakannya sepulang dari Kudus, yaitu selama ia tinggal di Syahri Nawi, sebuah kampung kecil dan terpenting, kampung ini terletak ditengah hutan. Menurut Hamzah Fansuri disinilah ia mengalami keadaan fana, menemui wujud dirinya yang sejati dan seakan-akan dilahirkan kembali. Karena itu, didalam puisi-puisinya terkadang menyebut dirinya sebagai anak Fansur-Barus dan terkadang anak Syahr-Nawi.
Pada zaman Sultan Alauddin Riayat Syah dan Sultan Iskandar Muda, yaitu ketika Hamzah Fansuri menulis karya-karyanya, tasawuf sedang menjadi semacam kegemaran atau bahkan gaya hidup masyarakat. Hamzah Fanzuri yang berpendidikan tinggi dan telah mendapat pencerahan jiwa, disana-sini melihat akibat-akibat tersebarnya gaya hidup yang agak dangkal itu. Dalam salah satu syairnya, dia mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat pada hamba-Nya dari pada Hablil Warid atau urat nadi leher, menyindir anak-anak muda dan orang-orang tua yang tiba-tiba menjadi sufi dan seia sekata maju kehutan belantara mencari Tuhan. Hamzah Fansuri merasa gusar bukan saja karena setiap orang mengaku dirinya berhak memasuki rahasia tasawuf yang sejati. Ia terlebih-lebih mengecam orang-orang yang masih menempuh ajaran yoga dalam usaha mereka untuk mengenal al-Haq dan orang-orang kolot yang menduduki jabatan berpengaruh di istana Sultan dan memandang sufi sebagai murtad.[41]
Hamzah Fansuri telah berhasil mngukir sejarah pribadinya dalam khazanah pembaharuan keislaman di dunia Islam. Karya-karyanya telah berhasil membuka dan memperluas wawasan berpikir umat Islam terhadap berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya. Hamzah Fansuri telah berusaha mengungkapkan semua ajaran melalui karya sastra dan mistis Islami dengan kedalaman isi dan pesan yang gagal sangat mengagumkan. Kepeloporan Hamzah Fansuri dibidang sastra ini diakui oleh pakar Belandan Valentjin yang pernah datang ke Aceh, dimana ia menyatakan bahwa Hamzah Fansuri telah berhasil dengan sukses menggambarkan kebesaran Aceh masa lampau melalui syair-syairnya.
Hamzah Fansuri dipengaruhi oleh pemikiran mistiko falsafi yang demikian tinggi, maka ajarannya tidak hanya berarti pada maqam ma’rifah sebagaimana kaum mistiko-sunni, akan tetapi melampauinya ke tingkat paling puncak yaitu merasakan kebersatuan diri dengan Tuhan yang disebut itthad.[42]
Aspek lain dari Hamzah Fansuri ialah kepedulian sosialnya, khususnya yang berkaitan dengan perbedaan strata sosial antara para budak dan tuan mereka. Sebagai seorang sufi, Hamzah Fansuri mengutuk fenomena ini sebagai tercermin sebagai berikut:
“Aho segala kamu anak ‘alim
Jangan bersbubhat dengan yang zalim
Karena Rasul Allah sempurna hakim
Melarang kita sekalian khadim”
Kepedulian Hamzah terhadap kelas sosial dapat dipahami sebagai akibat dari sebuah kenyataan dimana perbudakan merupakan hal yang lazim dikalangan masyarakat Islam saat itu. Di Aceh, sebagaimana yang dilaporkan oleh Bealeu, “penguasa menggunakan mereka untuk memotong kayu, menggali batu, membuat senjata mortir dan bengunan”.[43] Kehadiran Syekh Hamzah Fansuri tidak hanya sebagai seorang ulama tasawuf, cendekiawan dan sastrawan terkemuka tetapi juga telah berpartisipasi sebagai pembaharu didalam bidang kerohanian, keilmuan, filsafat dan bahasa. Kritik-kritik Syekh Hamzah Fansuri terhadap perilaku politik para penguasa dan perilaku moral orang kaya yang sangat tajam, menunjukkan bahwa Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang intelektual yang berani dimasanya. Kritik-kritik Syekh juga ditujukan kepada ahli-ahli tarekat yang mengamalkan praktekl yoga yang sesat dan jauh dari amalan syari’at.[44]
B. Kepenyairan Syekh Hamzah Fansuri
1. Hazmah Fansuri Sebagai Pembaru
Syekh Hamzah Fansuri bukan hanya sebagai seorang ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka, tapi juga perintis dan pelopor. Sumbangannya sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam, khususnya dibidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa dan sastra. Di dalam hampir semua bidang ini, Syekh juga seorang pelopor dan pembaru. Kritik-kritiknya yang tajam terhadap perilaku politik dan moral raja-raja, para bangsawan dan orang-orang kaya yang menemparkannya sebagai seorang intelektual yang berani pada zamannya. Karena itu, tidak mengherankan apabila kalangan istana Aceh tidak begitu menyukai kegiatan Syekh dan para pengikutnya. Salah satu akibatnya ialah, baik Hikayat Aceh maupun Bustan as-Salatin dua sumber penting sejarah Aceh yang ditulis atas perintah Sultan Aceh, tidak sepatah katapun menyebutnya namanya, baik sebagai tokoh spiritual maupuan sastra.
Dibidang keilmuan Syekh telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. Sebelum karya Syekh muncul, masyarakat muslim Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis didalam bahasa Arab atau Persia. Dibidang sastra, Syekh mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofi dan mistik bercorak Islam. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman ataupun sesudahnya. Penulis-penulis Melayu abad ke-17 dan ke-18 kebanyakan berada dibawah bayang-bayang kegeniusan dan kepiawaian Syekh Hamzah Fansuri.[45]
Dibidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah pula mempelopori penerapan metode takwil atau hermeneutika kerohanian. Kepiawaian Syekh dibidang hermeneutika terlihat didalam Asrar al’Arifin, sebuah risalah tasawuf penting berbobot yang pernah dihasilkan oleh ahli tasawuf nusantara. Disitu Syekh memberi tafsir dan takwil atau puisinya sendiri, dengan nalisis yang tajam dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistimilogi dan estetika.[46]

Inilah gerangan suatu madah
mengarangkan syair terlalu indah,
membetuli jalan tempat berpindah,
di sanalah i’tikat diperbetuli sudah
Wahai muda kenali dirimu,
ialah perahu tamsil tubuhmu,
tiadalah berapa lama hidupmu,
ke akhirat jua kekal diammu.
Hai muda arif-budiman,
hasilkan kemudi dengan pedoman,
alat perahumu jua kerjakan,
itulah jalan membetuli insan.
Perteguh jua alat perahumu,
hasilkan bekal air dan kayu,
dayung pengayuh taruh di situ,
supaya laju perahumu itu
Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.
Perteguh jua alat perahumu,
muaranya sempit tempatmu lalu,
banyaklah di sana ikan dan hiu,
menanti perahumu lalu dari situ.
Muaranya dalam, ikanpun banyak,
di sanalah perahu karam dan rusak,
karangnya tajam seperti tombak
ke atas pasir kamu tersesak.
Ketahui olehmu hai anak dagang
riaknya rencam ombaknya karang
ikanpun banyak datang menyarang
hendak membawa ke tengah sawang.
Muaranya itu terlalu sempit,
di manakan lalu sampan dan rakit
jikalau ada pedoman dikapit,
sempurnalah jalan terlalu ba’id.
Baiklah perahu engkau perteguh,
hasilkan pendapat dengan tali sauh,
anginnya keras ombaknya cabuh,
pulaunya jauh tempat berlabuh.
Lengkapkan pendarat dan tali sauh,
derasmu banyak bertemu musuh,
selebu rencam ombaknya cabuh,
La ilaha illallahu akan tali yang teguh.
Barang siapa bergantung di situ,
teduhlah selebu yang rencam itu
pedoman betuli perahumu laju,
selamat engkau ke pulau itu.
La ilaha illallahu jua yang engkau ikut,
di laut keras dan topan ribut,
hiu dan paus di belakang menurut,
pertetaplah kemudi jangan terkejut.
Laut Silan terlalu dalam,
di sanalah perahu rusak dan karam,
sungguhpun banyak di sana menyelam,
larang mendapat permata nilam.
Laut Silan wahid al kahhar,
riaknya rencam ombaknya besar,
anginnya songsongan membelok sengkar
perbaik kemudi jangan berkisar.
Itulah laut yang maha indah,
ke sanalah kita semuanya berpindah,
hasilkan bekal kayu dan juadah
selamatlah engkau sempurna musyahadah.
Silan itu ombaknya kisah,
banyaklah akan ke sana berpindah,
topan dan ribut terlalu ‘azamah,
perbetuli pedoman jangan berubah.
Laut Kulzum terlalu dalam,
ombaknya muhit pada sekalian alam
banyaklah di sana rusak dan karam,
perbaiki na’am, siang dan malam.
Ingati sungguh siang dan malam,
lautnya deras bertambah dalam,
anginpun keras, ombaknya rencam,
ingati perahu jangan tenggelam.
Jikalau engkau ingati sungguh,
angin yang keras menjadi teduh
tambahan selalu tetap yang cabuh
selamat engkau ke pulau itu berlabuh.
Sampailah ahad dengan masanya,
datanglah angin dengan paksanya,
belajar perahu sidang budimannya,
berlayar itu dengan kelengkapannya.
Wujud Allah nama perahunya,
ilmu Allah akan [dayungnya]
iman Allah nama kemudinya,
“yakin akan Allah” nama pawangnya.
“Taharat dan istinja’” nama lantainya,
“kufur dan masiat” air ruangnya,
tawakkul akan Allah jurubatunya
tauhid itu akan sauhnya.
Salat akan nabi tali bubutannya,
istigfar Allah akan layarnya,
“Allahu Akbar” nama anginnya,
subhan Allah akan lajunya.
“Wallahu a’lam” nama rantaunya,
“iradat Allah” nama bandarnya,
“kudrat Allah” nama labuhannya,
“surga jannat an naim nama negerinya.
Karangan ini suatu madah,
mengarangkan syair tempat berpindah,
di dalam dunia janganlah tam’ah,
di dalam kubur berkhalwat sudah.
Kenali dirimu di dalam kubur,
badan seorang hanya tersungkur
dengan siapa lawan bertutur?
di balik papan badan terhancur.
Di dalam dunia banyaklah mamang,
ke akhirat jua tempatmu pulang,
janganlah disusahi emas dan uang,
itulah membawa badan terbuang.
Tuntuti ilmu jangan kepalang,
di dalam kubur terbaring seorang,
Munkar wa Nakir ke sana datang,
menanyakan jikalau ada engkau sembahyang.
Tongkatnya lekat tiada terhisab,
badanmu remuk siksa dan azab,
akalmu itu hilang dan lenyap,
(baris ini tidak terbaca)
Munkar wa Nakir bukan kepalang,
suaranya merdu bertambah garang,
tongkatnya besar terlalu panjang,
cabuknya banyak tiada terbilang.
Kenali dirimu, hai anak dagang!
di balik papan tidur telentang,
kelam dan dingin bukan kepalang,
dengan siapa lawan berbincang?
La ilaha illallahu itulah firman,
Tuhan itulah pergantungan alam sekalian,
iman tersurat pada hati insap,
siang dan malam jangan dilalaikan.
La ilaha illallahu itu terlalu nyata,
tauhid ma’rifat semata-mata,
memandang yang gaib semuanya rata,
lenyapkan ke sana sekalian kita.
La ilaha illallahu itu janganlah kaupermudah-mudah,
sekalian makhluk ke sana berpindah,
da’im dan ka’im jangan berubah,
khalak di sana dengan La ilaha illallahu.
La ilaha illallahu itu jangan kaulalaikan,
siang dan malam jangan kau sunyikan,
selama hidup juga engkau pakaikan,
Allah dan rasul juga yang menyampaikan.
La ilaha illallahu itu kata yang teguh,
memadamkan cahaya sekalian rusuh,
jin dan syaitan sekalian musuh,
hendak membawa dia bersungguh-sungguh.
La ilaha illallahu itu kesudahan kata,
tauhid ma’rifat semata-mata.
hapuskan hendak sekalian perkara,
hamba dan Tuhan tiada berbeda.
La ilaha illallahu itu tempat mengintai,
medan yang kadim tempat berdamai,
wujud Allah terlalu bitai,
siang dan malam jangan bercerai.
La ilaha illallahu itu tempat musyahadah,
menyatakan tauhid jangan berubah,
sempurnalah jalan iman yang mudah,
pertemuan Tuhan terlalu susah.
~ Hamzah Fansuri

Comments

Popular posts from this blog

kamus bahasa pakpak versi saidin .... mohon koreksi

lirik lagu pakpak "Berngin En"

Lirik lagu sedih.. Ise ndia sisalah dan Air mata perkawinan